Rela Tinggalkan Kampung Halaman, Demi Pertahankan Iman

  • Whatsapp

Kisah Perjalanan Diaspora Uighur di Turki

TURKI adalah satu di antara sejumlah negara yang menampung sebagian besar pengungsi Uighur, kebanyakan tinggal di Kota Istanbul. Saat ini sekitar 50.000 warga Uighur mendapat suaka di Turki. Mereka menikmati dukungan luas penduduk, ikatan kultural antara Uighur dan Turki juga mempermudah penerimaan mereka di masyarakat.

Bacaan Lainnya

Masyarakat Uighur di daerah asalnya Provinsi Xinjiang dipandang sebagai ancaman etno-nasionalis terhadap Tiongkok, karena itu meskipun Beijing mendeklarasikan wilayah Xinjiang sebagai daerah otonom, aktivitas di daerah tersebut di kontrol dengan ketat.

Kebijakan asimiliasi budaya China di Xinjiang yang berlawanan dengan praktik kehidupan muslim pelan tapi pasti menimbulkan gejolak. Pelarangan memakai hijab, puasa, solat dan rutinitas Islam lainnya secara sistematis dilakukan kepada masyarakat yang tinggal di daerah yang juga disebut Uighuristan atau Turkestan Timur ini.

Tidak hanya itu, upaya penahanan massal dan tentu disertai penyiksaan etnis Uighur di kamp-kamp menjadi tragedi kemanusiaan yang menyedihkan, memicu kekhawatiran dan kecaman di berbagai belahan dunia.

Situasi tersebut berdampak pada semakin banyak etnis Uighur yang berusaha meninggalkan kampung halaman dan mencari suaka di negara lain. Turki tercatat sebagai negara yang paling banyak menerima kehadiran muslim Uighur ini.

Huriye Emin mengisahkan perjalanannya datang ke Turki bersama keluarganya pada tahun 2016 silam. Huriye sendiri tumbuh besar dan tinggal di Uzbekistan hingga sekolah menengah tingkat pertama.

Saya besar dan tinggal di Uzbekistan sampai sekolah menengah pertama. Kemudian nenek saya meninggal. Ayah saya memutuskan untuk pergi ke Xinjiang (Kashgar) karena kakek dan kerabat saya ada di sana. Saya melanjutkan sekolah di sana dan semuanya berjalan baik-baik saja. 

Pada akhir tahun 2014, pengetatan agama mulai meningkat. Setiap berangkat sekolah, kami harus melepas jilbab kami di gerbang, baru kemudian masuk sekolah. Saya memasukkan jilbab saya ke saku dan mereka menghentikan saya di depan pintu dan berkata, “Kami tahu apa yang ada di saku kamu.” Pertama kali saya mengalami peristiwa itu dan saya tidak paham maksudnya. 

Sepulang sekolah saya menceritakan peristiwa itu ke keluarga saya. Pada bulan Ramadhan, guru kami berkata, “Besok ada ujian, jangan puasa!” Saya sangat terkejut, tapi lagi-lagi saya tidak peduli. Keesokan harinya mereka memaksa kami minum air untuk memastikan apakah kami berpuasa atau tidak. Kemudian saya mengerti bahwa mereka punya niat serius untuk menjauhkan kami dari agama. 

Kakak saya saat itu menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Mereka diwajibkan tinggal di asrama dan secara tidak langsung dijauhkan dari keluarga. Situasi di sekolah kakak saya tidak berbeda. 5 anak dikeluarkan dari sekolah karena berpuasa. Kemudian ayah saya berkata bahwa jika kami tinggal di sini, mereka tidak akan membiarkan kami menjalankan agama dan kami memutuskan untuk pergi. 

Kami datang ke Istanbul pada tahun 2016. Saat itu memang orang-orang Uyghur baru saja pada datang ke Istanbul. Teman-teman ayah saya lebih dulu tinggal di Istanbul. Mereka sangat membantu kami. Oleh karena itu saya pikir kami tidak terlalu kesulitan di awal kedatangan kami ke Istanbul. 

Waktu berjalan, kini saya kuliah di universitas di Bursa. Menjadi mahasiswi di Bursa sangat enak hingga tahun lalu. Orang-orang Turki khususnya di Bursa pengertian. Tapi sekarang, meningkatnya jumlah orang asing di Turki membuat orang Turki cenderung enggan menerima kami dan memperlakukan kami sebagai orang asing. 

Bagaimana saya menjadi aktivis Uyghur? Masih ingat dengan perkataan “Kami tahu apa yang ada di saku Anda”? Kalimat itu terlalu keras untuk saya. Mulanya saya menjadi seorang aktivis agar mereka tidak mengatakan kalimat itu kepada saudari-saudari saya yang lain. Tapi sayangnya, kini bukan hanya jilbab, tapi identitas dan keislaman kami juga mereka coba hilangkan. Mereka mencuci otak anak-anak. Dan saya tidak bisa diam saja melihat semua ini. 

Ketika saya menjadi aktivis, saya mempelajari apa yang sudah terjadi dalam sejarah dan apa yang sedang terjadi di negara saya. Hingga saat ini saya masih belajar. Awalnya kami sangat vokal bersuara. Setiap minggu, setiap bulan, kami mengadakan aksi unjuk rasa. Kami menceritakan kepada siapa saja yang datang dan melihat. 

Meski demikian saya tidak ingin orang-orang melihat kami selalu dengan mata kasihan saat membicarakan tentang Uyghur. Dimulai dari identitas kami, saya ingin mereka tahu siapa kami, bangsa kami, bagaimana negara kami terbentuk, di mana letak geografis kami, bagaimana peradaban kami dulu dan sekarang, serta budaya kami. 

Karena semakin orang mengenali, mereka mulai mencintai dan semakin ingin membantu. Oleh karena itu, prioritas kami adalah memperkenalkan diri kami dan saya ingin memulai jalan perjuangan saya dari sini. (red)

Pos terkait