Magelangnews.com – Pasca Taliban menguasai Afghanistan, setelah digulingkan selama 20 tahun akibat diinvasi pasukan AS dan sekutunya pada 2001, potret negeri yang memiliki sumber daya alam (SDA) senilai 3 triliun dollar AS (Rp 42.000 triliun) ini berubah total.
Taliban kini berkuasa penuh atas SDA meliputi tembaga, emas, minyak, gas alam, uranium, bauksit, batu bara, bijih besi, lithium, kromium, timah, seng, batu permata, belerang, travertin, gipsum, marmer, dan lain-lain.
Menariknya, semenjak Taliban kembali berkuasa di Afghanistan, China menjadi negara yang terang-terangan menyatakan sokongannya.
Dilansir dari Reuters, setidaknya ada 5 alasan China membackup kekuasaan Taliban di Afghanistan. Yakni meliputi : pertama, China ingin minta bantuan Taliban melawan Ekstrimis Uyghur. Kedua, China mempunyai Perusahaan Tambang di Afghanistan. Ketiga, Afghanistan mempunyai kekayaan Mineral. Keempat, Taliban meminta China membangun kembali Afghanistan. Dan kelima, China berambisi menguasai Jalur OBOR.
Untuk mengetahui nasib Komunitas Uyghur di Afghanistan, Achmad Supardi Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi President University, Cikarang mewawancarai Omer Kanat, Chairman of the Executive Committee World Uyghur Congress, baru-baru ini.
Akankah Ditumbalkan Taliban Demi Meraih Bantuan China? Bagaimana Anda melihat nasib warga Uyghur yang tinggal di Afghanistan saat ini?
Ada sekitar 85-100 keluarga Uyghur di Afghanistan. Mereka komunitas yang sangat kecil. Banyak di antara mereka sudah tinggal di Afghanistan selama puluhan tahun dan selalu diliputi oleh ketakutan karena Pemerintah China terus menerus menggunakan cara transnational repression atau represi lintas negara di luar wilayah Turkistan Timur. Kami sudah mempublikasikan hasil riset kami tentang represi lintas negara oleh Pemerintah China terhadap warga Uyghur di Afghanistan dan Pakistan. Bahan-bahan itu bisa Anda baca di website kami, uhrp.org (Uyghur Human Rights Project).
Banyak diantara warga Uyghur ini yang sudah berbicara on the record (secara terbuka) kepada para wartawan internasional dan kepada para peneliti kami yang meneliti tentang Afghanistan, kerjasama China dan hubungan antara Pemerintah China dan Taliban. Mereka sangat kritis kepada kedua belah pihak.
Mereka takut kepada Taliban. Well, semua orang takut kepada Taliban. Anda bisa lihat banyak diantara mereka (warga Afghanistan) berbondong-bondong meninggalkan Afghanistan, (saking takutnya sehingga) seperti tidak takut menggelantung di pesawat. Tentu saja warga Uyghur yang tadinya mengungsi ke Afghanistan juga sangat ketakutan. Mereka sadar bahwa saat ini Taliban sangat ingin memiliki hubungan yang baik dengan China. Para pemimpin Taliban secara terbuka mengatakan demikian. Bahkan Kepala Komisi Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar bertemu dengan Menlu China, Wang Yi di Tianjin, Juli lalu (https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/t1895950.shtml ). Kombinasi semua peristiwa ini adalah alasan yang sangat kuat bagi warga Uyghur di Afghanistan untuk takut, untuk khawatir tentang apa yang akan terjadi pada mereka nantinya.
Taliban dan Uyghur sama-sama Muslim. Tidakkah kesamaan identitas ini membantu hubungan mereka?
Saya yakin Anda sendiri juga sadar betul bahwa hingga saat ini negara-negara Muslim sangat dekat dengan China. Mereka bungkam tentang perlakuan China terhadap warga Muslim Uyghur. Bukan hanya bungkam, negara-negara Muslim ini bahkan secara terbuka menyetujui perlakuan Pemerintah China terhadap Uyghur.
Misalnya?
Saudi Arabia. Ketika Muhammad bin Salman, putera mahkota Saudi Arabia mengunjungi China pada 2019, ia secara terbuka mendukung hak China untuk memerangi terorisme dimana pelaku terorisme yang dimaksud adalah warga Uyghur (https://www.aljazeera.com/news/2019/2/23/saudi-crown-prince-defends-chinas-right-to-fight-terrorism). Negara-negara Muslim di Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mendukung China dalam isu ini. Ketika ada permintaan agar PBB mengutuk perlakuan China terhadap Uyghur, negara-negara Barat dan negara demokratis di Asia seperti Jepang mendukung permintaan tersebut tapi justru negara-negara Muslim menentangnya, termasuk Mesir, Pakistan, Arab Saudi, Uni Emirat Arab.
Mereka mendukung narasi China. Warga Uyghur sangat kecewa. Yang dilakukan Pemerintah China di Turkistan Timur bukan saja serangan terhadap budaya Uyghur, namun juga serangan terhadap Islam. Pemerintah China merusak belasan ribu masjid. Australian Strategic Policy Institute (https://www.aspi.org.au/news/cultural-destruction-and-detention-facilities-xinjiang) mengeluarkan laporan tahun lalu yang mengatakan lebih dari 30% masjid di wilayah Turkistan Timur dihancurkan sepenuhnya dan 30% lainnya dialihfungsikan (baca juga: Microsoft Word – UHRP Mosques Report (1)-pages-deleted.docx.
Bukan hanya itu, kini menjadi Muslim dan menjadi Uyghur dikriminalisasikan. Warga Uyghur tidak bisa mengucapkan salam, assalaamu’alaikum antara satu warga dengan warga lainnya. Pemerintah China juga melarang penggunaan sejumlah nama-nama Islam, termasuk Muhammad.
Kami tidak boleh menamai anak kami Muhammad karena itu dilarang (baca: https://www.rfa.org/english/news/special/uyghur-oppression/ChenPolicy6.html, https://www.refworld.org/docid/5971a768c.html, https://www.independent.co.uk/news/world/asia/china-ban-islamic-baby-names-muslim-xinjiang-province-uyghurs-burqa-islam-jihad-human-rights-a7700646.html, https://www.hrw.org/news/2017/04/25/china-bans-many-muslim-baby-names-xinjiang).
Pemerintah China juga melarang kepemilikan dan pembacaan Al Qur’an. Seorang warga Uyghur yang datang dari Malaysia baru-baru ini menceritakan tentang saudara perempuannya yang ditahan di kamp konsentrasi selama 2 tahun.
Setelah 2 tahun itu ia dikenai hukuman 17 tahun penjara, penjara 7 tahun karena sholat jenazah saat ayahnya meninggal dan 10 tahun karena memiliki Al Qur’an. Anda juga tidak bisa meminta makanan halal. Sekarang sedang berlangsung kampanye anti-halal.
Negara-negara Muslim dan para pemimpin mereka mengetahui dan sadar tentang apa yang terjadi di Turkistan Timur, namun karena kepentingan ekonomi akhirnya mereka tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini. Taliban pun begitu.
Bagaimana Anda membuktikan semua tuduhan di atas?
Anda bisa melihat regulasi Pemerintah China, termasuk aturan yang melarang penggunaan nama-nama Islam tadi. Bahkan ini bukan pengakuan kami, tapi dokumen resmi Pemerintah China dan pemberitaan dari website-website China. Baca juga laporan-laporan dari Australian Strategic Policy Institute (https://www.aspi.org.au/ report/cultural-erasure, https://xjdp.aspi.org.au/resources/how-china-is-destroying-the-uyghur-mosques/, https://xjdp.aspi.org.au/resources/cultural-erasure-tracing-the-destruction-of-uyghur-and-islamic-spaces-in-xinjiang/, https://xjdp.aspi.org.au/) atau laporan kami (https://www.rfa.org/english/news/special/uyghur-oppression/ChenPolicy6.html). [Tentu Pemerintah China menampik tuduhan ini, misalnya bisa dibaca di tautan ini: https://www.abc.net.au/news/2020-09-26/china-denies-xinjiang-mosque-destruction-uyghur-autonomous/12707304; https://www.globaltimes.cn/content/1202079.shtml].
Pemerintah China dan warga Uyghur sedang terlibat dalam perang wacana. Kedua belah pihak mengajukan klaim masing-masing, karena itu keberadaan bukti menjadi sangat penting.
Betul. Saat kami mengunjungi Malaysia dan Indonesia, ketika kami bertemu dengan teman-teman dari Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, kami mendapatkan pertanyaan yang sama. Tentu kami sangat kecewa bahwa saudara-saudara Muslim kami seperti itu.
Meragukan?
Ya. Ini memang kenyataan yang sangat sulit kami terima, tapi kami tetap dengan penuh semangat menjelaskan kondisi yang sesungguhnya dengan memaparkan data-data dari media China, dokumen dan instruksi Pemerintah China.
Mereka kemudian mengatakan agar kami mengunjungi mereka secara rutin karena mereka tidak pernah mendapatkan data-data yang kami paparkan itu. Mereka mengatakan bahwa Kedutaan Besar China secara rutin mengunjungi mereka dan memberi informasi yang berbeda, karena itu informasi kami penting (untuk menyeimbangkan).
Kami mulai bekerja sama dengan beberapa LSM dan universitas di Indonesia, menggelar webinar-webinar untuk memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi di Turkistan Timur.
Kami biarkan para korban dan saksi yang berbicara, yaitu mereka yang beberapa bulan mendekam di dalam kamp-kamp re-edukasi atau yang saudaranya mengalami hal tersebut. Kami ini, warga Uyghur yang berada di luar Turkistan Timur, tidak bisa menghubungi keluarga kami di sana selama bertahun-tahun, termasuk saya dan ribuan warga Uyghur lainnya. Komunikasi kami diputus.
Salah satu “kesalahan” yang membuat seorang warga Uyghur dimasukkan ke kamp-kamp tersebut adalah berkomunikasi dengan orang lain di luar negeri, terutama dengan mereka yang berada di 26 negara Muslim, termasuk Indonesia. Seorang warga Uyghur di Turkistan Timur berkomunikasi dengan orang di Indonesia sudah cukup untuk membuatnya dijebloskan ke kamp-kamp konsentrasi tersebut.
Bisa disebutkan LSM, universitas, dan ormas di Indonesia yang berkomunikasi dengan organisasi Anda?
Ada beberapa. Diantaranya Pusat Studi Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, kelompok pemuda di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Yang kami lakukan adalah membawa orang-orang Uyghur yang mengalami opresi Pemerintah China.
Bagaimana Anda mendapatkan orang-orang tersebut?
Memang tidak banyak korban opresi Pemerintah China yang bisa keluar dari Turkistan Timur, tapi untungnya ada beberapa yang dibebaskan. Sebagian diantara mereka menikah dengan warga asing, dan perwakilan negara asing inilah yang membantu menekan pihak berwenang China untuk melepaskan mereka.
Seorang wanita Uyghur yang menikah dengan pria Mesir, misalnya, termasuk yang mendekam dalam kamp konsentrasi selama 9 bulan. Perwakilan Mesir membantu agar ia dibebaskan dan berkumpul dengan suaminya di Mesir.
Tentu ketika Pemerintah China membebaskan orang-orang seperti dia, mereka berpesan agar tidak pernah menceritakan apa yang terjadi. Namun, karena begitu traumatiknya pengalaman mereka, mereka tidak bisa membendung keinginan untuk menceritakannya kepada dunia.
Beberapa perwakilan dari Indonesia juga diundang Pemerintah China untuk datang ke Xinjiang dan melihat apa yang terjadi disana. Sebagian diantaranya benar-benar menceritakan bahwa tidak ada opresi di sana. Bagaimana Anda melihatnya?
(Itu kan memang kesan yang diinginkan Pemerintah China, sama dengan) Saat mereka mempersilakan Komisioner HAM PBB, Verónica Michelle Bachelet Jeria (https://www.ohchr.org/en/aboutus/pages/highcommissioner.aspx) untuk datang melakukan investigasi ke Turkistan Timur.
Dia dan timnya boleh investigasi, namun Pemerintah China yang menentukan tempat yang boleh dikunjungi, rumah-rumah yang boleh didatangi dan siapa yang boleh diwawancarai. Bebas akses tapi dengan syarat.
Bachelet dan timnya bersikeras meminta akses yang bebas, boleh datang ke tempat manapun dan mewawancarai siapapun yang mereka inginkan. Sementara, wartawan dan undangan lain dari negara-negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, mau saja datang ke tempat-tempat yang sudah dipilih dan mewawancarai orang-orang yang dibawakan oleh Pemerintah China. Untungnya masih ada satu wartawan asal Albania (lebih tepatnya, Albania-Kanada, Red.) yang mau menulis hal-hal mencurigakan yang ia lihat selama kunjungan ke Turkistan Timur itu.
Hal-hal yang mencurigakan itu di antaranya adalah pengakuan sebagian warga bahwa dirinya atheis dan percaya kepada Marxisme meksi namanya sangat Islami. Orang-orang Uyghur yang dipertontonkan kepada rombongan wartawan berbicara dalam Bahasa Mandarin dan semua tampak gembira, terlalu gembira hingga terkesan tidak wajar serta menjawab salam (assalaamu’alaikum) dengan “ni hao”. Pengalaman Dr Olsi Jasexhi bisa dibaca dan didengarkan di antaranya di https://www.youtube.com/watch?v=VC1THdpRCPI, https://m.facebook.com/watch/?v=489201381911605&_rdr, https://nationalpost.com/news/canadian-went-to-china-to-debunk-reports-of-anti-muslim-repression-but-was-shocked-by-treatment-of-uyghurs, https://www.theguardian.com/world/2020/aug/23/how-china-uses-muslim-press-trips-to-counter-claims-of-uighur-abuse).Pemerintah China membantahnya:
https://www.globaltimes.cn/content/1172044.shtml.
Dia sekarang berbicara dalam banyak konferensi tentang apa yang ia lihat di Turkistan Timur. Namun, banyak wartawan dari Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, justru menulis artikel-artikel yang mendukung narasi Pemerintah China.
Pada 2019, delegasi resmi pemerintah dari Malaysia, Indonesia diajak melihat beberapa kamp, lalu saat kembali ke Beijing menggelar konferensi pers. Disana, ketua delegasi Malaysia mengatakan bahwa kamp-kamp yang ia kunjungi adalah training centers (pusat-pusat pelatihan) dan semuanya sesuai dengan yang dikatakan Pemerintah China.
Namun saat saya berkunjung ke Malaysia, saya konfirmasi apakah pernyataan ketua delegasi Malaysia saat di Beijing itu benar adanya atau sekadar propaganda Pemerintah China. Pejabat Malaysia yang menemui saya mengatakan, ‘Benar, itu yang ia katakan saat di Beijing.
Namun, laporan aktual yang dilaporkannya kepada Pemerintah Malaysia berbeda’. Lalu, ia membolehkan saya membaca laporan itu. Isinya sepenuhnya berkebalikan dengan pernyataannya di Beijing tersebut. Laporan tersebut menegaskan adanya represi Pemerintah China terhadap Muslim Uyghur. Anda (dan orang lain) bisa membaca laporan penelitian kami di website kami (uhrp.org).
China sangatlah berkuasa saat ini baik secara ekonomi, politik, dan militer. Di lain pihak, banyak negara Muslim yang berpaling dari Uyghur karena berharap kerjasama ekonomi dengan China. Lantas, apa yang bisa dilakukan warga Uyghur agar dunia mendengar cerita versi mereka?
Kami sadar bahwa negara-negara Muslim ini memiliki kepentingan mendapatkan dukungan ekonomi dari China. Namun, mereka juga memiliki kewajiban moral (untuk membela warga Uyghur). Kalau mereka bersahabat dengan Pemerintah China, justru seharusnya bisa menyampaikannya secara bersahabat kepada Pemerintah China bahwa yang mereka lakukan terhadap Etnis Uyghur berdampak buruk bagi mereka sendiri dalam jangka panjang.
Apa yang mereka lakukan adalah penghinaan bukan hanya terhadap Etnis Uyghur tapi juga kepada Islam dan Muslim secara keseluruhan.
Tahukah Anda apa hal pertama yang dipaksakan kepada mereka yang dijebloskan ke kamp-kamp konsentrasi ini? Mereka dipaksa menyatakan keluar dari Islam. Mereka harus mengatakan tidak percaya Tuhan dan hanya percaya kepada Partai Komunis. Jadi seharusnya negara-negara Muslim ini bisa menyampaikan secara bersahabat kepada Pemerintah China bahwa adalah kepentingan jangka panjang China juga untuk memperlakukan Muslim Uyghur dengan sewajarnya.
Mereka memiliki semua dokumen dan bukti apa yang dilakukan Pemerintah China kepada warga Uyghur. Jangan bersikap seperti Perdana Menteri Pakistan yang mengaku tidak mengetahui apa yang terjadi di sana. Sikap seperti itu tidak membantu memperbaiki keadaan. Tentu saja dia tahu apa yang terjadi disana. Jika mereka (pimpinan negera-negara Muslim) tidak bisa mengecam China, maka katakanlah secara bersahabat kepada Pemerintah China bahwa mereka memiliki banyak bukti tentang yang dilakukan China terhadap warga Uyghur dan bahwa hal itu merugikan China secara jangka panjang.
Bukan hanya warga Uyghur, namun para wartawan asing, peneliti, bahkan PBB yang menyatakan adanya represi terhadap warga Uyghur di Turkistan Timur. Para pemimpin negara Muslim ini bisa mengatakan bahwa mereka ditekan oleh warga mereka masing-masing untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi terhadap warga Uyghur.
Satu penghinaan lain terjadap warga Uyghur adalah dilakukannya pengawasan terhadap warga Uyghur menggunakan alat mata-mata tercanggih di dunia 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tidak hanya itu, Pemerintah China juga mengirimkan aktivis-aktivis Partai Komunis untuk tinggal di rumah-rumah sebagian warga Uyghur.
Ini bukan kami yang mengatakan, tapi Global Times, situs berita resmi Pemerintah China yang mengabarkannya sendiri. Global Times dengan bangga mengatakan bahwa dalam 2 tahun terakhir lebih dari 1 juta aktivis Partai Komunis tinggal di rumah-rumah warga Uyghur, untuk tinggal bersama mereka.
Mengawasi apa yang mereka lakukan, katakan, pikirkan, dan apa yang mereka makan. Mereka dipaksa makan apapun yang dibawa oleh aktivis-aktivis Partai Komunis ini. Warga Uyghur harus menerima dan memperlakukan para aktivis ini dengan ramah. Sebagian mereka yang sempat ditahan di kamp konsentrasi menceritakan pada kami bahwa aktivis-aktivis Partai Komunis pria beretnis Han tetap ditempatkan bahkan di rumah-rumah yang sepenuhnya dihuni wanita Uyghur selama berbulan-bulan. Tentu ini tidak bisa diterima, bukan hanya untuk kalangan Muslim, namun untuk semua manusia.
Kembali ke nasib warga Uyghur di Afghanistan. Apakah ketakutan terhadap deportasi mereka ini hanya sekadar ketakutan atau memang sudah terjadi?
Belum terjadi. Namun pemerintahan Afghanistan sebelumnya (Presiden Hamid Karzai dan Presiden Ashraf Ghani) sudah pernah memaksa balik warga Uyghur ke Pemerintah China. Pakistan pun begitu. Pemerintah Pakistan bersekongkol dalam tiap tindakan menyerahkan warga Uyghur di Pakistan, bahkan di Afghanistan, kepada otoritas China.
Apakah mereka melakukannya benar-benar hanya karena tekanan ekonomi, di mana mereka sangat butuh bantuan China ?
Bisa karena tekanan ekonomi, bisa juga demi kepentingan strategis politik dimana mereka ingin membuat China happy. Saya kenal satu orang Uyghur secara pribadi yang kemudian “dikembalikan” dari Afghanistan ke China dan tidak mendengar kabarnya lagi sampai kini.
Banyak orang Uyghur yang dikirim balik dari luar negeri ke China, misalnya yang dikirim balik dari Malaysia pada 2011-2012, tidak lagi diketahui nasibnya. Ada juga 2 warga Uyghur yang dideportasi dari Indonesia. Tiap kali ada yang dideportasi ke China, kami tidak mengetahui nasibnya. Mereka menghilang begitu saja.
Mendengar cerita Anda, sepertinya Pemerintah China melakukan banyak kekejaman terhadap warga Uygur. Padahal, sebagai penguasa de facto wilayah Turkistan Timur atau Xinjiang, bukankah lebih strategis bila Pemerintah China memperlakukan warga Uyghur secara baik-baik hingga tidak muncul resistensi yang serius ?
Sejak pendudukan, represi terhadap warga Uyghur ini bukan lagi hal baru. Sejak pendudukan, Pemerintah China terus melakukan asimilasi paksa terhadap warga Uyghur. Mereka berusaha menghancurkan bahasa dan budaya Uyghur, bahkan mengubah demografi di Turkistan Timur dengan membawa jutaan warga China Etnis Han untuk tinggal disana. Ketika China menduduki Turkistan Timur pada 1949, hanya 3% penduduk Etnis Han di Turkistan Timur. Sekarang, hampir setengah populasi adalah Etnis Han.
Meski demikian, Pemerintah China gagal mencapai apa yang mereka inginkan karena warga Uyghur tetap berpegang pada agamanya dan tidak melupakan budayanya. Pemerintah China memaksakan pernikahan campur, namun itu tidak banyak terjadi.
Makin banyak warga Uyghur yang menyadari bahwa wilayah mereka diduduki oleh China. Permintaan warga Uyghur yang sangat legitimate sebenarnya sederhana saja, perlakukan mereka sebagai warga negara yang setara (dengan warga lainnya). Namun Pemerintah China tidak meperlakukan warga Uyghur secara setara. Hak-hak mereka tidak diberikan.
Etnis Han mendapatkan semua keuntungan. Warga Uyghur kesulitan mendapatkan pekerjaan, warga Etnis Han begitu mudah diberi pekerjaan. Tanah-tanah warga Uyghur disita lalu diberikan secara cuma-cuma kepada pendatang Etnis Han. Hal-hal ini menciptakan ketegangan. Warga Uyghur menginkan hak-hak mereka.
Sejak program one belt one road oleh Presiden Xi Jinping, maka tanah (lahan) menjadi kian strategis. Untuk mencapai impian itu, warga Uyghur dianggap sebagai kendala yang harus dimusnahkan. Menyusul demo damai di Urumqi (ibukota Turkistan Timur) yang kemudian direspon secara brutal oleh polisi China pada 2009 (baca: https://thediplomat.com/2019/07/bearing-witness-10-years-on-the-july-2009-riots-in-xinjiang/,https://www.hrw.org/report/2009/10/20/we-are-afraid-even-look-them/enforced-disappearances-wake-xinjiangs-protests, https://apnews.com/article/religion-ap-top-news-international-news-china-race-and-ethnicity-1e095c203d4a40c0a79d78d1a41634ab).
Pemerintah China menyadari bahwa kebijakan paksaan mereka tentang “kehidupan antar etnis yang harmonis” tidaklah menjadi kenyataan. Saat Xi Jinping mengunjungi Kashgar, salah satu kota di Turkistan Timur, dia kaget karena melihat kota itu masih sangat Uyghur.
Setelah 70-an tahun dalam penguasaan China, dia membayangkan kota itu dan Turkistan Timur secara umum sudah menjadi “China”, namun rupanya tidak demikian. Dia sangat marah kepada para pejabat Partai Komunis disana karena warga Uyghur tetap Uyghur dan tidak ter-China-kan.
Karena itu ia lalu memutuskan kebijakan “strike hard”, menginstruksikan petugas keamanan China di Turkistan Timur agar “suppress everything” (menekan semua hal) dan “show absolute no mercy” (tidak menunjukkan belas kasihan sama sekali) saat berhadapan dengan warga Uyghur. Ini bukan dari kami, tapi dari sumber-sumber China.
Anda (mungkin) bertanya, mengapa mereka menyerang agama, menyerang Islam? Ini karena mereka pikir bahwa Islam-lah yang membuat warga Uyghur tetap sebagai Uyghur, yang membuat warga Uyghur tetap punya semangat dalam memelihara budaya dan identitas mereka. Sejak itulah mereka memulai perang melawan identitas Islam Uyghur. Xi Jinping sendiri yang menyebut Islam sebagai “penyakit jiwa” dan harus “diperlakukan sesuai dengan predikatnya” (baca: https://www.chinafile.com/reporting-opinion/viewpoint/once-their-mental-state-healthy-they-will-be-able-live-happily-society, https://www.aljazeera.com/opinions/2018/11/28/for-china-islam-is-a-mental-illness-that-needs-to-be-cured, https://www.france24.com/en/video/20180831-china-considers-uighur-religious-belief-mental-disease, https://www.theatlantic.com/international/archive/2018/08/china-pathologizing-uighur-muslims-mental-illness/568525/).
Sekarang pertanyaan saya, bagaimana warga Uyghur melihat diri mereka? Apakah mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari Bangsa China atau sepenuhnya berbeda dari China? Kedua, apakah mereka menerima berada dalam wilayah China asalkan diperlakukan secara setara atau ingin lepas sepenuhnya dari China ?
Uyghur memiliki budaya, sejarah, dan tradisi yang sangat kaya. Mereka memiliki negara mereka sendiri, bahkan pernah memiliki imperium serta tidak memiliki kaitan apapun dengan China baik secara budaya, tradisi maupun agama. Uyghur tidak memiliki kesamaan dan keterkaitan apa pun dengan China Etnis Han. Uyghur merasa lebih dekat dengan saudara-saudara mereka disisi lain perbatasan seperti Kirgiztan, Tajikistan, Uzbekistan. Mereka sama-sama berbahasa dari akar Bahasa Turkic
(https://www.britannica.com/topic/Turkic-languages).
Dalam beberapa tahun sebelumnya, mungkin ada sebagian warga Uyghur yang menerima berada di dalam China selama diperlakukan secara setara dan dihormati hak-hak asasinya seperti bebas memeluk agamanya serta mempertahankan budaya dan bahasanya.
Tapi itu tak pernah terjadi. Kini tidak ada yang ingin tinggal sebagai bagian dari China karena Pemerintah China hanya ingin memusnahkan budaya Uyghur. Mereka ingin men-China-kan warga Uyghur. Karena itu kami tidak memiliki pilihan lain kecuali hidup sendiri-sendiri. Kami tidak bisa hidup di dalam China karena China tidak menginginkan kami hidup bersama mereka.
Sebagian warga Uyghur adalah pegawai Pemerintah China, mengajar di universitas, bahkan kader Partai Komunis China. Mereka mau hidup di dalam China bila China menghormati hak-hak mereka. Tapi itu tidak pernah terjadi. China menyasar semua Uyghur, apapun posisi dan profesinya.
Bahkan warga Uyghur yang bekerja pada pemerintah dan menjadi kader Partai Komunispun kini dipenjara di kamp-kamp konsentrasi. Mereka menyasar semua warga Uyghur. China tidak percaya satu pun warga Uyghur. Pemerintah China menyasar Uyghur karena ke-Uyghur-an mereka, karena itulah tindakan ini dikategorikan genosida.
Salah satu alasan pembenar yang dikemukakan Pemerintah China untuk bersikap keras kepada warga Uyghur karena adanya kelompok teroris East Turkistan Islamic Movement (ETIM). Apakah ETIM ini memang ada atau karangan belaka?
Tentu keberadaan ETIM ini mencurigakan. Beberapa bulan lalu, agen-agen China datang ke Afghanistan dimana 12 warga Uyghur dideportasi ke China. Buat apa agen-agen China datang ke Afghanistan? Mereka mencoba membentuk gerakan-gerakan Muslim palsu di Afghanistan (untuk mendukung wacana mereka tentang adanya ETIM).
Saya berusia 60 tahun dan sudah 40 tahun aktif dalam isu Uyghur. Saya tidak pernah mendengar yang namanya ETIM. Saya baru mendengarnya setelah peristiwa 11 September (serangan terhadap menara kembar WTC di New York, Amerika Serikat).
Tahukah Anda, 2 atau 3 minggu sebelum peristiwa 11 September, Pemerintah China mengeluarkan laporan yang di dalamnya mengundang investor asing untuk berinvestasi di Xinjiang. Mereka mengklaim bahwa Xinjiang aman dan stabil (untuk investasi asing).
Setelah AS mendeklarasikan perang terhadap terorisme, seminggu atau dua minggu kemudian tiba-tiba Pemerintah China mengklaim sebagai korban teror juga dari gerakan yang berbasis di Xinjiang. Saat itulah mereka memunculkan yang namanya ETIM. Sejak itu Pemerintah China menghubungkan semua warga peaceful Uyghur, baik aktivis HAM, penulis, ahli sejarah yang menulis sejarah Uyghur, dilabeli sebagai teroris dan dihukum.
Ribuan warga Uyghur yang bahkan tidak pernah mendengar tentang ETIM dituduh sebagai bagian dari ETIM dan dipenjarakan. Memang awalnya Amerika Serikat (AS) memasukkan ETIM dalam daftar organisasi teroris. Ini dilakukan karena AS menginginkan dukungan China di Dewan Keamanan PBB terhadap perang yang mereka kobarkan di Irak.
Ini adalah pertukaran kepentingan. Setelah beberapa kali hearing di Kongres AS tentang masalah ini, akhirnya AS mengakui bahwa mereka memasukkan ETIM dalam daftar kelompok teroris atas permintaan China dan bukan berdasar riset mereka sendiri. Pada Januari 2020, Pemerintah AS mencabut ETIM dari daftar teroris.
Terakhir, berapa banyak organisasi yang bekerjasama untuk mendukung kepentingan warga Uyghur? Apakah mereka terkoordinasi dengan baik ?
Ada banyak komunitas Uyghur di AS, Inggris, Kanada, Australia dan negara-negara lain. Dimanapun mereka berada, ada organisasi Uyghur. Kami memiliki World Uyghur Congress (WUC) yang bermarkas di Jerman. Ini merupakan organisasi Uyghur terbesar yang menjalankan kampanye internasional atas nama warga Uyghur.
Terdapat 46 organisasi di seluruh dunia yang menjalankan aktifitas dibawah payung WUC. Mereka terkoneksi dan terkoordinasi dengan baik untuk mengadvokasi kepentingan warga Uyghur. Tereksposnya kekejaman China terhadap Uyghur bukan hanya karena kampanye kami, namun terlebih karena begitu besarnya represi yang dilakukan. Karena terlalu besar, akhirnya represi itu tak bisa disembunyikan (*).