Oleh : Achmad Supardi
MagelangNews.com – Pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya meninggalkan Afghanistan. Tak banyak pihak yang menduga, Taliban yang beberapa tahun belakangan tersingkir, kembali ke permukaan. Dalam waktu sangat singkat mereka menguasai mayoritas wilayah Afghanistan dan menjadi penguasa de facto negara tersebut. Di antara beragam kontroversi tentang kebangkitan kembali Afghanistan, ada nasib satu komunitas kecil yang seperti terlupakan: pengungsi Uyghur.
Uyghur adalah bangsa yang mendiami wilayah Turkistan Timur, saat ini dikuasai China dan disebut sebagai Wilayah Otonom Xinjiang. Tidak merasa sebagai Bangsa China, warga Uyghur melihat China sebagai kekuatan pendudukan. Sebagian dari mereka memilih melarikan diri ke luar negeri. Afghanistan salah satu tujuan pelarian itu.
Afghanistan memang miskin. Lebih buruk lagi, setengah abad lebih Afghanistan selalu dilanda perang. Pada 24 Desember 1979, Uni Soviet menganeksasi Afghanistan yang kemudian dilawan oleh beragam kelompok yang agregatnya kita kenal dengan nama “Mujahidin”. Pada 1989, Uni Soviet menandatangani Perjanjian Perdamaian Jenewa dan menarik mundur pasukan mereka dari Afghanistan. Pada 1992, kelompok Mujahidin berhasil mengalahkan pemerintahan Presiden Muhammad Najibullah yang komunis, diikuti oleh naiknya kelompok Taliban ke tampuk kekuasaan pada 1995. Dianggap melindungi Osama bin Laden yang diyakini AS sebagai pelaku aksi terror 11 September, AS dan para sekutunya melakukan serangan udara di Afghanistan diikuti oleh misi jangka panjang militer mereka di sana dan baru ditarik pada pertengahan 2021 ini. Melihat ini, Afghanistan sepertinya suram. Lantas, mengapa sebagian pengungsi Uyghur memilih lari ke negara ini?
Meski selalu dilanda perang, Afghanistan dianggap aman bagi warga Uyghur. Afghanistan tidak memiliki hubungan dekat dengan China. Di lain pihak, negara-negara Asia Tengah lainnya seperti Tajikistan dan Kyrgiztan memiliki hubungan yang dekat dengan China, bahkan secara ekonomi memiliki ketergantungan yang tinggi terhadapnya. Karena itu, mengungsi ke negara-negara seperti ini dianggap tidak strategis karena rentan ditekan oleh China dan bisa saja pengungsi Uyghur dikorbankan demi mendapatkan bantuan ekonomi China. Aghanistan pun menjadi pilihan logis saat itu.
Kini, Afghanistan bukan lagi tempat yang aman bagi pengungsi Uyghur. Taliban memang Muslim, sama dengan para pengungsi Uyghur itu. Namun, Taliban dimusuhi oleh Barat. Taliban tidak mungkin meminta bantuan AS, Eropa atau Australia. Padahal, mereka harus segera membangun Afghanistan dan menunjukkan bahwa mereka bisa bekerja, bahwa mereka menciptakan kemajuan di Afghanistan untuk memperoleh dukungan dari masyarakat yang terbelah itu. Semua itu tentu butuh biaya. Ketika menoleh ke Barat bukan lagi pilihan, di utara (Rusia) adalah mantan kekuatan penjajah sementara di selatan (Pakistan) adalah sekutu AS, satu-satunya pilihan adalah menoleh ke timur. Ke China.
Di sinilah pangkal ketakutan para pengungsi Uyghur. Taliban sangat membutuhkan bantuan ekonomi, juga butuh back up politik. China sebagai raksasa ekonomi saat ini dan anggota tetap Dewan Keamanan PBB mampu memberi jaminan itu. Tentu selalu ada syarat, selalu ada pertukaran kepentingan dalam tiap hubungan internasional. Pengungsi Uyghur khawatir merekalah alat pertukaran itu. Rezim Taliban menyerahkan para pengungsi Uyghur ke China untuk mendapatkan bantuan ekonomi.
“Mereka sadar bahwa saat ini Taliban sangat ingin memiliki hubungan yang baik dengan China. Para pemimpin Taliban secara terbuka mengatakan demikian. Bahkan Kepala Komisi Politik Taliban, Mullah Abdul Ghani Baradar bertemu dengan Menlu China, Wang Yi di Tianjin, Juli lalu. Kombinasi semua peristiwa ini adalah alasan yang sangat kuat bagi warga Uyghur di Afghanistan untuk takut, untuk khawatir tentang apa yang akan terjadi pada mereka nantinya,” kata Omer Kanat, Chairman of the Executive Committee World Uyghur Congress, Kamis (9/9/2021).
Meski deportasi besar-besaran belum terjadi, namun ada tanda-tanda ke arah sana. Apalagi rezim sebelumnya juga sudah pernah menyerahkan warga Uyghur ke tangan Pemerintah China. “Mereka yang dikirim balik ke China ini tidak pernah lagi diketahui nasibnya. Mereka seperti lenyap begitu saja,” kata Omer.
*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, President University dan Mahasiswa S3 di The University of Queensland