Oleh : Achmad Supardi *
MagelangNews – “Assalaamu’alaikum,” sapa seorang wartawan Albania saat berkunjung ke salah satu kamp konsentrasi yang didirikan Pemerintah China di Xinjiang. Beberapa penghuni kamp menjawab, “Ni hao”. Ini adalah Bahasa Mandarin yang berarti “apa kabar?” Setengah tak percaya, wartawan itu melanjutkan, “Kalian Muslim, bukan?” Senyuman, itulah jawaban yang ia terima.
Olsi Jasexhi, wartawan yang juga doktor sejarah, mulai curiga ada yang tidak beres. Dia khawatir orang-orang di depanya sedang menyembunyikan sesuatu. Lebih tepatnya, mereka takut akan sesuatu.
“Mereka takut mengekspresikan ke-Islam-an mereka karena hal itu dilarang oleh Pemerintah China,” kata Omer Kanat, Chairman of the Executive Committee World Uyghur Congress, Kamis, 9 September 2021.
Mengucapkan dan menjawab salam bukan satu-satunya yang dilarang. Memiliki dan membaca Al Qur’an, menggunakan nama-nama yang identik dengan identitas Islam –termasuk Muhammad— dan sholat dilarang, Demikian dikatakan Omer.
Seorang wanita Uyghur mengalami mendekam di salah satu kamp konsentrasi Pemerintah China di Xinjiang. Meski mengalami peristiwa traumatik, dia masih tergolong satu dari sedikit perempuan Uyghur yang beruntung. Dia akhirnya dibebaskan berkat desakan Kedutaan Besar Mesir, negara suaminya.
“Beberapa wanita bersuamikan pria asing mengalami keberuntungan seperti ini. Tentu jumlah mereka sangatlah kecil dibanding keseluruhan warga Uyghur yang ditahan di kamp-kamp konsentrasi tersebut,” kata Omer.
Ketika China menggencarkan program one belt one road, Xinjiang menjadi kian strategis. Wilayah luas ini menghubungkan China dengan banyak negara di barat dan utara-nya. Cengkeraman China pun diperkuat. Apalagi, setelah 70 tahun menduduki Xinjiang ternyata budaya warga Uyghur tak kunjung ter-China-kan. Presiden Xi Jinping dikatakan Omer marah besar dan menetapkan kebijakan “strike hard”, menginstruksikan petugas keamanan China di Turkistan Timur agar “suppress everything” (menekan semua hal) dan “show absolute no mercy” (tidak menunjukkan belas kasihan sama sekali) saat berhadapan dengan warga Uyghur.
Menurut Omer, China menyasar Islam karena meyakini bahwa agama Islam-lah yang membuat warga Uyghur tetap sebagai Uyghur, yang membuat mereka konsisten memelihara budaya dan identitas mereka. Sejak itulah mereka memulai perang melawan identitas Islam Uyghur. “Xi Jinping sendiri yang menyebut Islam sebagai ‘penyakit jiwa’ dan harus ‘diperlakukan sesuai dengan predikatnya’” kata Omer.
*Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi, President University dan Mahasiswa S3 di The University of Queensland